Siapa Yang Layak Menisbatkan kepada Atsar?

Saat ini marak dijumpai mereka yang menisbatkan nama kepada atsar, semisal Fulan Al Atsariy atau Fulanah Al Atsariyyah, padahal kapasitas mereka dalam disiplin ilmu hadits belum  bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan penisbatan kepada atsar menurut urf (kebiasaan) para ulama digunakan bagi mereka yang memiliki kapasitas dalam ilmu hadits dalam tingkatan tertentu.

deobandAl Hafidz As Sakhawiy menyatakan ketika menjelaskan penisbatan Al Hafidz Al Iraqi kepada atsar,”Dan demikian juga telah menisbatkan diri sekelompok (ulama-pen). Dan telah berada dalam kebaikan penisbatan kepadanya (atsar-pent) dari siapa yang menyusun kitab dalam disiplinya (atsar-pent)” (Fath Al Mughits bi Syarhi Alfiyati Al Hadits, 1/6)

Dari pernyataan Al Hafidz As Sakhawiy di atas bahwa penisbatan kepada atsar untuk para ulama yang telah menyusun kitab dalam disiplin ilmu hadits.

Al Hafidz As Suyuthiy juga menjelaskan mengenai masalah ini lebih terperinci, tatkala beliau menjelaskan makna atsar,”Sesungguhnya para muhadditsun menyebut marfu’ dan mauquf sebagai al atsar. Dan sesungguhnya para fuqaha Khurasan menyebut mauquf sebagai atsar dan marfu’ sebagai khabar. Dan dikatakan atsartu al hadits (أثرت الحديث) bermakna rawaituhu (aku telah meriwayatkannya(hadits-pent)). Dan disebutlah muhaddits sebagai atsariy, pensibatan kepada atsar”. (Tadrib Ar Rawi, hal. 29)

Cukup jelas apa yang disampaikan oleh Al Hafidz As Suyuthi, bahwa al atsariy adalah penisbatan bagi seorang muhaddits kepada atsar. Jika yang menisbatkan diri kepada atsar adalah muhaddits, maka saat ini siapa yang layak menisbatkan diri kepadanya bisa dihitung jari alias sangat sedikit, karena syarat menjadi muhaddits amat berat (baca, Kapan Seorang Bisa Disebut sebagai Muhaddits?).

Dan apa yang dinyatakan Al Hafidz As Sakhawiy bahwa penisbatan kepada atsar bagi para ulama yang telah menyusun kitab dalam disiplin ilmu hadits, tidaklah bertentangan dengan pernyataan Al Hafidz As Suyuthiy. Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki kitab berkenaan dengan disiplin ilmu hadits adalah para muhadditsin.

Imam As Sam’ani juga berbicara mengenai penisbatan dengan atsar. Beliau menyampaikan,”Ini adalah penisbatan kepada atsar, yakni hadits dan penuntutan serta pengikutan kepadanya”. (Al Ansab, 1/136)

Apa yang disampaikan Imam As Sam’aniy juga berkaitan dengan penuntut hadits serta mengikutinya. Dan penuntut hadits adalah orang yang menyimak hadits dari para perawinya serta mengamalkannya.

Penuntut atau pencari hadits sendiri menurut tradisi ulama adalah mereka yang mendalami disiplin ilmu ini dengan sima’ atau ijazah. Sehingga, dalam kitab-kitab biografi para penuntut hadits, baik rawi musnid, muhaddits atau hafidz selalu dijelaskan dari siapa mereka menyimak dan memperoleh ijazah hadits dan kepada siapa mereka menyampaikan hadits. Dan orang-orang seperti itu tidaklah banyak di zaman ini.

Dan para ulama yang menisbatkan diri kepada atsar nyata-nyata memang muhaddits bahkan hafidz, sebagaimana Al Hafidz Al Iraqiy yang menisbatkan diri dengannya dalam muqadimah Alfiyah-nya. Demikian juga Abu Bakr Said bin Abdillah bin Ali Al Atsariy yang disebut Imam As Sam’ani sebagai salah satu ulama yang dikenal menisbatkan diri kepada atsar, beliau adalah seorang ulama yang rajin beribadah yang hadir dalam majelis-mejelis kebaikan. Beliau juga menyimak hadits di Naisabur dari Abu Sa’id bin Abdurrahman bin Hamdan, Abu Hasan Muhammad bin Ahmad bin Ja’far dan Abu Sa’id Fadhlullah bin Abi Khair. Di Baghad menyimak dari Abu Ath Thayyib Thahir bin Abdillah Ath Thabariy. Dan yang mengambil periwayatan dari beliau adalah Al Hafidz Abu Qasim Ismail bin Muhammad bin Al Fadhl di Asbahan (lihat, Al Ansab 1/136).

Dari paparan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa penisbatan kepada atsar menurut tradisi para ulama berlaku bagi mereka yang menggeluti periwayatan hadits atau muhaddits yang memiliki karya mengenai disiplin ilmu ini dan mengamalkannya, bukan penisabtan “murah.-meriah” yang bisa dipakai semaunya oleh sembarang orang. Jadi masalahnya bukan boleh atau tidak boleh, namun siapa yang layak menisbatkan diri ke atsar.

Rujukan

1. Al Ansab karya Imam As Sam’aniy, Maktabah Ibni Taimiyah Kairo 1400 H

2. Fath Al Mughits karya Al Hafidz As Sakhawy, Dar Al Minhaj Riyadh 1426 H

3. Tadrib Ar Rawi karya Al Hafidz As Suyuthi, Maktabah Al Kautsar Riyadh 1415 H

Iklan

Mi’raj Rasul Tidak Menunjukkan Allah Ta’ala di Langit

Sebagian pihak yang berkeyakinan bathil bahwa Allah berada di langit berpedoman kepada hadits yang menjelaskan mi’raj Rasulullah Shallallahu Alahai Wasallam. Bagaimana para ulama menjelaskan masalah itu? Lanjutkan membaca ‘Mi’raj Rasul Tidak Menunjukkan Allah Ta’ala di Langit’

Diangkat Taklif Bagi Wali, Berarti Tinggalkan Syariat?

Beberapa kelompok amat bermudah-mudah menyesatkan pihak lain karena didasari ketidak pahaman mengenai makna istilah yang biasa digunakan komunitas tertentu. Sebagai contoh dalam kasus istilah irtifa` taklif atau hilangnya taklif bagi para wali Allah, yang biasa digunakan para sufi. Lanjutkan membaca ‘Diangkat Taklif Bagi Wali, Berarti Tinggalkan Syariat?’

Hukum Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bid’ah Terlarang?

Begitu banyak tulisan mengenai hukum mengucapkan “salamat tahun baru” di bulan Muharram ini, namun semuanya hanya merujuk kepada pendapat pihak kontemporer, yang menyatakan bahwa perbuatan itu bid’ah dan dilarang. Sebab itulah penulis tertarik untuk menelisik hukumnya yang sebenarnya menurut para hufadz dan fuqaha mu’tabar. Dan hasilnya, demikianlah pendapat mereka:

Lanjutkan membaca ‘Hukum Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bid’ah Terlarang?’

Imam Izzuddin Larang Jabat Tangan Setelah Shalat?

Sebagian kelompok membid’ahkan amalan yang biasa dilakukan di sebagian masyarakat Muslim yang bersalaman setelah shalat lima waktu  dengan pijakan fatwa Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam. Dimana dalam kumpulan fatwa beliau, Kitab Al Fatawa (hal. 46, 47), beliau menyatakan,”Bersalaman setelah shubuh dan ashar bagian dari bid’ah-bid’ah. Kecuali bagi orang yang datang dan berkumpul dengan orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyariatkan ketika bertemu.” Lanjutkan membaca ‘Imam Izzuddin Larang Jabat Tangan Setelah Shalat?’

Imam As Syafi’i dan Para Sufi

Di beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi. Lanjutkan membaca ‘Imam As Syafi’i dan Para Sufi’

Syeikh Mahfudz Penyambung Sanad Ulama Nusantara

Beliau adalah Al Allamah Al Muhaddits Al Musnid Al Faqih Al Ushuli As Syeikh Muhammad Mahfudz. Lahir di Tarmas (Termas) Jawa Tengah pada tanggal 12 Jumadi Al Ula 1285 H, dikala ayah beliau bermukim di Makkah. Beliau diasuh oleh ibu dan para pamanya. Lanjutkan membaca ‘Syeikh Mahfudz Penyambung Sanad Ulama Nusantara’

Tetap Belajar Walau Ajal di Depan Mata

Saat berada di ambang kematian pun, beberapa ulama masih berusaha memanfaatkan waktu. Ada yang berdikusi masalah fiqh, menghafal beberapa bait syair, atau menukil ilmu.
Lanjutkan membaca ‘Tetap Belajar Walau Ajal di Depan Mata’